Rabu, 16 Oktober 2013

DASAR DAN CARA PENETAPAN AWAL RAMADHAN

A.     DASAR PENETAPAN AWAL RAMADHAN
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawwal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman  masing-masing  kelompok terhadap teks-teks al Quran dan Hadits. Dalam hal ini sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbendaan pendapat dalam masalah-masalah furuiyyah seperti itu tidakakan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Dalam menetapkan awal Ramadhan banyak dasar-dasar yang menunjukkan dari al Quran maupun al Hadits antara lain:[1]
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Yang artinya: ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185).
QS al Yunus ayat 5 yang artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhiyungan(waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui”
Nabi SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملواعدة شعبان ثلاثين (رواه البخارى)
Yang artinya: “Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan), dan bukalah kamu ketika melihat bulan (di bulan Syawwal), maka jika ada yang menghalangi (mendung), sehingga bulan tidak terlihat, hendaklah kamu menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari ” [2]
Nabi SAW bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Yang artinya: Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” ( HR. Bukhori)


B.     METODE MENENTUKAN AWAL RAMADHAN
1.       Dengan melihat bulan (rukyat)
Dengan metode melihat bulan, menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan rukyah atau melihat bulan yang dilakukan pada hari ke 29. Apabila rukyah tidak berhasil, baik karena posisi hilal memang belum dapat dilihat maupun karena terjadi mendung, maka penetapan awal bulan harus berdasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari). Sehingga menurut metode ini term rukyah dalam hadits-hadits bersifat ­ta’abudi- ghair ma’qul ma’na. Artinya tidak dapat dirasionalkan pengertiannya, sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian rukyat hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata kepala.[1]
Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib). Karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
2.       Dengan cara perhitungan (hisab)
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Metode ini menetapkan awal Ramadhan dengan menggunakan perhitungan falak. Ada beberapa metode yang digunakan, yaitu antara lain:
A.      Metode hisab haqiqi taqribi
Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa menggunakan ilmu ukur segitiga bola.
B.      Metode hisab haqiqi tahqiqi
Metode ini dicangkok dari kitab al Mathla’ al Said Rushd al Jadid yang berakar dari sistem astronomi serta matematika modern yang asal muasalnya dari sistem astronom-astronom muslim tempo dulu. Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan, dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem koordinat ekliptika.
C.      Metode hisab haqiqi kontemporer
Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan hisab haqiqi tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.[2]



[1].Ahmad Izzuddin, fiqih hisab rukyah, (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2007),  hlm. 4.
[2]. Ahmad Izzuddin, fiqih hisab rukyah, (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2007),  hlm. 8.


[1].Susiknan Azhari, Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm: 135.
[2] . Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 1986) hlm. 222.

1 komentar: