Rabu, 16 Oktober 2013

BIOGRAFI MARWAN BIN HAKAM

A.    Sekilas tentang Marwan bin Hakam
Marwan bin Hakam merupakan Khalifah keempat dari daulat bani Umaiyyah setelah Muawiyyah II atau Muawiyyah bin Yazid berkuasa. Dan jika dilihat dari silsilah dia merupakan cucu dari Abul ‘Ash yang juga merupakan kakek dari Ustman bin Affan.
Setelah terputusnya keturunan Muawiyyah dalam melanggengkan kekuasaan dikarenakan berakhirnya kekuasaan Muawiyyah II atau Muawiyyah bin Yazid maka kursi kekuasaan pun beralih ke bani Marwan setelah keluarga besar Umayyah mengangkatnya sebagai khalifah. Karena dari keluarga besar Umaiyyah beraggapan bahwa Marwan bin Hakam adalah orang yang tepat untuk mengendalikan kekuasaan karena pengalamanya. Tetapi masa pemerintahannya hanya berlangsung selama setahun. Selanjutnya kepemerintahannya diturunkan kepada anaknya yaitu Abdul Malik bin Marwan.[1]
B.     Peradaban Islam di Masa Marwan bin Hakam
Ketika pada saat akhir pemerintahan Muawiyah bin Yazid, ia mengundurkan diri tanpa menunjuk seorang pun sebagai penggantinya. Para pemuka dan pembesar keluarga Bani Umayyah yang tetap ingin mempertahankan jabatan khilafah berada di tangan mereka, segera mengangkat Marwan bin Hakam sebagai khalifah keempat Bani Umayyah.
Dalam perjalanan karier politik Marwan bin Hakam sebenarnya sudah dimulai sejak pada masa khalifah Ustman bin Affan. Marwan bin Hakam bukanlah sosok baru dalam catur perpolitikan kala itu. Sebelumnya, ia pernah menjabat penasihat Khalifah Utsman bin Affan. Pengaruhnya tidak kecil terhadap kebijakan pemerintahan. Tak sedikit kebijakan yang ditelurkan Khalifah Utsman kental aroma kekeluargaan. Beberapa gubernur kala itu banyak yang diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Misalnya, jabatan gubernur di Mesir yang dipegang oleh Amr bin Ash, diganti oleh Abdullah bin Sa’ad. Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil menaklukkan wilayah Syria dan Palestina dari tangan Romawi, jabatannya digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Sa’ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan wilayah Irak dan Iran dari tangan Persia, jabatannya digantikan oleh Ziyad bin Abihi. Begitu pun dengan beberapa wilayah lain. Sebagian besar para pemimpinnya diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Kebijakan ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh Marwan bin Hakam, mengingat kondisi Khalifah Utsman yang sudah lanjut usia kala itu.
Tapi kemudian setelah terjadi perang jamal yakni peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah setelah peperangan selesai, kemudian Marwan mengundurkan diri dari gelanggang politik dia memberikan bai’ah dan memberikan sumpah setianya atas Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah, kemudian ia menetap di Madinah. Dan ketika Muawiyyah bin Abi Sofyan menjadi Khalifah, dia pun diangkat Muawiyyah sebagai bagian dari pemerintahannya karena Muawiyyah beranggapan bahwa Marwan juga telah melakukan peranan penting dalam peristiwa perang Jamal, yakni melemahkan Ali serta menewaskan Thalhah dengan panahnya. [2]
Berdasarkan pada hal-hal diatas, maka Muawiyyah pun mengangkat Marwan bin Hakam menjadi gubernur di Madinah ketika masa pemerintahan Yazid bin Muawiyyah dan juga menjadi pembantunya yang terdekat dalam kursi pemerintahan, serta menjadi salah seorang penasehat pemerintahan di Damaskus.
Bertepatan dengan itu, keadaan Ibnu Zubair ketika itu mengalami kemajuan yang pesat. Penduduk Hejaz telah tunduk kepadanya. Begitu pula penduduk Kufah dan Basrah. Ubaidullah ibnu Ziyad telah meninggalkan Kufah dan Basrah karena tekanan suasana. Juga penduduk Jazirah telah tunduk kepadanya. Begitu pula pemimpin pemerintahan di Syam, dan mereka ini dari kabilah Qais.
Oleh karena pencapaian Ibnu Zubair ini menyebabkan sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Ibnu Zubair adalah Khalifah yang sah di masa itu. Dan Marwan bin Hakam dianggap sebagai pemberontak, dan tidak diakui sebagai Khalifah. Begitu juga Abdul Malik bin Marwan barulah diakui sebagai Khalifah setelah meninggalnya Ibnu Zubair dan setelah tercapainya kesepakatan antara kaum Muslimin.
Terlepas dari kontroversi mengenai keabsahan khalifah Marwan bin Hakam dia pun memiliki banyak tugas diantara tugasnya yang antara lain adalah menyelematkan kedudukannya dan mengembalikan orang-orang suku di Jazirah ke dalam kekuasaannya. Pertempuran Marj Rahit pada bulan Muharram 65 H, dimana Ad Dahhak beserta pengikut-pengikutnya tewas. Maka seluruh daerah Syam dikuasai penuh oleh Marwan.
Kemudian Marwan menuju ke Mesir dan menaklukkannya, sehingga penduduk disana juga memberikan bai’at kepadanya, kemudian menjadikan Abdul Aziz sebagai gubernur di Syam. Kemudian dikirimnya Amru ibu Said ibnu Ash ke Palestina yang telah diserbu oleh Mush’ab ibnu Zubair. Dalam pertempuran yang terjadi disana Amru memperoleh kemenangan. Tetapi ajal Marwan telah datang memburunya sebelum Ia dapat melihat hasil perjuangan yang telah dimulai pula di Hijaz dan Irak.
Marwan adalah seorang yang bijaksana, berpikiran tajam, fasih berbicara dan berani. Ia ahli dalam pembacaan Al Quran. Dan banyak meriwayatkan Hadits dari para sahabat terkemuka , seperti Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
C.    Akhir Pemerintahan Marwan bin Hakam
Marwan bin Hakam hanya sebentar dalam menduduki kursi kekhalifahan yakni tahun 64-65 H atau 684-685 M. Dalam masa pemerintannya yang hanya satu tahun tersebut dia mengalami banyak pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah serta perlawanan dari penduduk-penduduk Syam, Hijaz, dan Mesir serta Bangsa Arab lainnya.
Selain itu dia juga merupakan khalifah yang melahirkan penguasa-penguasa yang menjadi puncak kejayaan dalam sejarah peradaban islam ketika daulah bani Umaiyyah berkuasa. Dan untuk mengukuhkan jabatan khilafahnya itu, Marwan bin Hakam yang sudah berusia 63 tahun kemudian mengawini Ummu Khalid yakni ibu Khalid bin Yazid atau saudaranya Muawiyyah II. Meskipun dalam perkawinan itu sangat kental dengan aroma politik. Karena dengan mengawini janda Yazid, Maka Marwan bermaksud menyingkirkan Khalid atau saudara dari Yazid dari tuntutan khilafah.
Dalam suatu kesempatan, Marwan sempat memberikan ejekan kepada Khalid dan ibunya. Akibatnya fatal yang kemudian Ummu Khalid menaruh dendam yang luar biasa pada Marwan bin Hakam. Dan pada suatu kesempatan ketika Ummu Khalid mendatanginya bersama para dayang dan kemudian Ummu Khalid pun membunuh Marwan bin Hakam dengan mencekik lehernya ketika dia dalam keadaan tidur. Marwan meninggal pada bulan Ramadhan dalam usia 63 tahun. Ia hanya menjabat sebagai khalifah selama 9 bulan 18 hari. Dan kemudian tahta kekhalifahan pun diwariskan pada anaknya yang bernama Abdul Malik.[3]




[1] Khoiriyah, sejarah islam¸ halaman 72.
[2] Syalabi, sejarah kebudayaan islam, halaman 52
[3] Syalabi, sejarah kebudayaan islam, halaman 54.

SEJARAH PEMIKIRAN TOKOH IMAM HARAMAIN

A.    Sejarah Imamul Haramain
Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah satu wilayah Khurasan, Persia tanggal 18 Muharram 419 H, dan wafat di daerah kelahirannya pada malam Rabu 25 Rabi’ al-Akhir 478 H. Tentang sebutan al-Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur, dan merupakan kebiasaan para sejarawan nama tokoh-tokoh tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat menetap atau tempat wafatnya.
Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama. Ayahnya seorang ulama yang sangat taqwa. Ia tidak makan kecuali dari yang halal yang dihasilkan oleh keringatnya sendiri. Ia mengawini seorang perempuan yang kemudian melahirkan Imam Haramain dengan mas kawin yang diperoleh dari usahanya sendiri. Kepada istrinya ia berpesan agar sang anak tidak disusui oleh orang lain. Pada suatu harketika sang ibu tengah masak, anaknya menangis.
Sebenarnya ia sendiri punya sahaya perempuan yang biasa menyusui anak tetangganya. Tiba-tiba istrinya menyerahkan anak itu untuk disusui perempuan tadi sampai dua kali. Suaminya melihat keadaan itu, lalu segera melarangnya. Kepada istrinya ia mengatakan:” perempuan sahaya ini bukan milik kita dan ia tidak berhak menyusui kecuali dengan izin tuannya, padahal sang tuan tidak mengizinkannya. Dengan tiba-tiba saja sang anak memuntahkan lagi isi perutnya.[1]
Al-juwaini meninggalkan negaranya sekitar tahu 443-447 H, pada saat di dalam negaranya berkobar fitnah yang terkenal dengan sebutan fitnah al-khunduri. Ia pergi ke mu’askar, bagdad dan Isfahan. Di bagdad ia belajar pada Abu Bakar Al-Baqillani. Ia pernah mengatakan bahwa ia pernah membaca dan bahkan menghapal 12. 000 lembar buku karangan al-qadi Abu Bakar Al-Baqillani tentang teologi.  di Isfahan ia belajar pada Abu Nu’aim Al-Isfahami pengarang buku al-hilyah. Selain belajar khusus, ia juga banyak mengadakan diskusi ilmiah dengan para tokoh yang ada di Negara Negara yang pernah di kunjunginya.
Gelar Imam Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah.  Ia juga disebut Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam kesesatan.[2]

B.      Setting Sosial Budaya Imam Haramain
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat dalam pendidikan agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama, diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfarani dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan Al-Naishabur.
Seperti lazimnya para santri kala itu, beliau juga menjelajah beberapa kota untuk menuntut ilmu. Berulang kali beliau mengunjungi Baghdad ( Irak ) dan Isfahan (Persia , kemudian ke Hijaz ( Arab Saudi ) dan tinggal di Mekah dan Madinah selama enam tahun sebagai ulama yang bertanggung jawab atas fatwa dan Imam Al-Haramain.
Belakangan beliau pulang kampong ke Naishabur dan mengajar. Tak berapa lama kemudian beliau diminta oleh Perdana menteri Nizam Al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Tinggi Nizamiyah di Baghdad. Di madrasah inilah beliau melewatkan hari-harinya untuk mengajar sampai di akhir hayatnya. Selama mengajar, beliau punya murid cukup banyak.[3]

C.     Setting Politik Imam Haramain
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Kekuasaan khalifah di rongrong dari dalam dan luar istana oleh orang keturunan Turki yang merasa tela mendapatkan kedudukan kuat. Khalifah sendiri berusaha mencari dukungan dari luar guna menyelamtkan kekuasaannya. Maka pada tahun 334h khalifah Abbassiyah ke 21 Al- Muttaqi di Baghdad meminta bantuan kepada Ahmad A Buwaihi yang berkedudukan di khurasan untuk melindunginya dari musuh. akibat dari permintaan itu, maka pada tahun ini pula dinasti Buwaihi berhasil memasuki Baghdad dengan mulusnya tanpa hambatan. Setelah bani Buwaihi berhasil mengalahkan musuhnya, kini merekala yang memegang kekuasaan penuh atas permimintaan pemerintahan pusat.merela lebih leuasa dan melakukan penindasan disana sini, khalifah tak ubahnya seperti boneka.
Walaupun diluar bani Buwaihi tampak seperti berada di bawa kekuasaan Abbasiyah namun pada hakikatnya merekala yang memegang penuh tampak pemerintahan pusat. Bahkan lebih jauh bani Buwaihi yang bermazhab syiah menekan khalifah Abbasiyah yang bermazhab sunni. Hal ini wajar terjadi sebab anatara kedua mazhab saling bersaing untuk mencari pengaruh di kalangan masyarakat umum.Kekacaun di bidang politik membawa kepada kekacaun di bidang akidah. Timbul berbagai fitnah di mana-mana tak terkecuali di Nisyapur tanah tumpah imam Juwaini. Keadaan ini seperti terus berlanjut hingga suatu saat bani Saljuk yang bermazhab sunnah tiba di Khurasan pada tahun 426 h. Kedatangan mereka tidak mengubah keadaan masyarakat secara drastis. Fitnah yang timbul akibat fanatik golongan belum bisa di tanggulaninya.
Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang dipgang oleh oleh Tughril Bek sekitar tahun 443 H. Timbul suatu fitnah yang kemudian di kenal sebagai fitnah Al-Khunduri. Amid al-malik al-Khunduri seorang wazir Thugril bek mengumumkan bahwa pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah yang di bawa oleh al- asyari’ah seperti juga pemerintah menentang gerakan rafidah. Pemerinta h mencela dan melarang mereka berceramah di atas mimbar. Lebih jauh pemerintah menyeru orang orang agar membenci mereka dan menganggapnya sebagai orang yang telah keluar dari ajaran islam. Menurut Hodgson, Al khunduri menyerukan mu’tazilah dan semua ajaran teologi lainnya unutk menghentikan ajaran-ajarannya.[4]

D.    Wacana Keilmuan Imam Haramain
Ketika masih muda, Imam Haramain belajar fiqh dan hadits kepada ayahnya, Syeikh Abu Muhammad al Juwaini dan kepada Qadi Husein. Setelah itu ia sekolah di madrasah al Baihaqi dan belajar ilmu Kalam pada Abu al Qasim al Iskaf al Asyrafani. Dari sini ia kemudian melanjutkan ke Baghdad dan Hijaz. Empat tahun lamanya ia tinggal dan pulang pergi antara Makkah- Madinah sambil terus menimba Hadits dari para ulama di sana.
Guru- gurunya adalah; Abu Hasan Muhammad al Muzakki, Abu Sa’id Abd al Rahman bin Hamdan al Nadrawi, Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin  al Yahya al Muzakki, Abu Sa’d Abd al Rahman bin al Hasan, Abu Abd Rahman Muhammad bin Abd al Aziz al Nili dan Abu Nu’aim.
Sedangkan Murid-muridnya antara lain; Zahir al Syahami, Abu Abdullah al Farawi dan Ismail bin Abu Salih al Muazzin. Beberapa karya yang Imam Haramain tulis antara lain; Al Nihayah fi al Fiqh, Al Syamil fi Usul al Din, Al Burhan fi Usul al Fiqh, Al Irsyad (akidah), Talkhis al Gharib, al Waraqat, Ghiyas al Waraqat, Mughis al Khalq fi Tarjih Mazhab al Syafi’i, Al Mukhtasar al Nihayah, dan Al Nizamiyah.[5]
E.     Metode Istinbat Imam Haramain
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats al Ulum (dengan tahqiq Dr Abdul Azhim ad Dib hal. 296-297), mengatakan orang yang bertaklid perlu berhati- hati dan bersikap kritis dalam menentukan orang yang ditaklidinya. Ia tidak bisa seenaknya bertaklid kepada ahli fatwa sekehendak dirinya. Ia harus mencari tahu seputar madzhab- madzhab yang ada dan bertentangan pendapat- pendapat yang ada beserta konsekuensi- konsekuensinya. Karena bagaimana ia dapat memilih dengan tepat antara mengambil madzhab yang mengharamkan (dalam suatu perkara) dan yang menghalalkannya? Sedangkan, ia tidak memiliki gambaran yang benar mengenai jalan yang ditempuhnya.
Pendapat yang dijelaskan Imam Haramain mengenai ketentuan orang yang bertaklid terhadap orang yang ditaklidinya adalah tidak diperuntukan bagi orang awam saja. Tetapi, juga bagi orang yang termasuk penuntut ilmu, yang menurutnya sebagai golongan orang yang mampu untuk memilih dan membenarkan suatu perkara hukum.[6]
       I.       






[1] Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar- Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,(Jakarta: Penerbit LKPSM, 2001), hal. 161.
[2] Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, ( Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960), hlm. 9

[3] Al-Kisah No.22 / Tahun II / 25 Oktober – 7 November 2004.
[4] Tsuroyo Kiswati, Al-juwaini Peletak Dasar Rasional dalam Islam Teologi,(pt gelora aksara), hal, 29.
[5] Abdullah Mustofa al Maraghi, Pakar- Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,(Jakarta: Penerbit LKPSM, 2001), hal. 161.
[6]Yusuf Qaradhawi, Memahami Khazanah Klasik, Madzhab, dan Ikhtilaf,(Jakarta: Akbar, 2003), hal. 118.

METODE METODE PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI

Sebagai disiplin ilmu pengetahuan, psikologi dipandang memenuhi syarat – syarat keilmuan. Objek studi psikologi dipelajari secara sistematik menggunakan metode yang menjamin keobjektivitas pengambilan kesimpulannya.
Berikut beberapa contoh metode – metode psikologi :
1.      Metode Eksperimental
Cara ini dilakukan biasanya di dalam laboratorium dengan mengadakan berbagai eksperimen. Peneliti mempunyai control sepenuhnya terhadap jalannya suatu eksperimen. Yaitu menentukan akan melakukan apa pada sesuatu yang akan diteilitinya, kapan akan melakukan penelitian, seberapa serig melakukan penelitiannya, dan sebagainya.
2.      Metode Observasi Ilmiah
Pada observasi ilmiah, suatu hal pada situasi – situasi yang ditimbulkan tidak dengan sengaja. Melainkan dengan proses ilmiah da secara spontan. Metode observasi dalam psikologi banyak dilakukan untuk mempelajari tingkah laku. Observasi alamiah ini dapat diterapkan pula pada tingkah laku yang lain, misalnya saja : tingkah laku orang – orang yang berada di toko serba ada, tingkah laku pengendara kendaraan bermotor di jalan raya, tingkah laku anak yang sedang bermain, perilaku orang dalam bencana, dsb.
3.      Metode Sejarah Kehidupan (Biografi)
Merpakan metode tulisan tentang kehidupan seseorang yang merupakan  riwayat hidup. Dalam biografi, orang menguraikan tentang keadaan, sikap – sikap ataupun sifat – sifat lain mengenai orang yang bersangkutan.
4.      Metode Interview
Merupakan metode penelitian dengan menggunakan pertanyaan – pertanyaan yang diberikan secara lisan.
5.      Metode Angket / Kuesioner
Kuesioner sering pula disebut angket yaitu metode penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan atau penyataan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang yang menjadi subjek dari penelitian tersebut.

6.      Metode Testing / Psikotes
Metode ini menggunakan alat – alat psikodiagnostik tertentu yang hanya dapat digunakan oleh para ahli yang benar – benar sudah terlatih. Alat – alat itu dapat dipergunakan untuk mengukur dan untuk mengetahui taraf kecerdasan seseorang, arh minat seseorang, sikap seseorang, struktur kepribadian seseorang, dan lain – lain dari orang yang diperikasa itu.
7.      Metode Cross Sectional
Metode penelitian yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama didalam melakukan penelitian. Dengan metode ini dalam waktu yang relatif singkat dapat disimpulkan bahan yang banyak.
8.      Metode Analisis karya
Merupakan suatu metode penelitian yang dengan mengadakan analisi dari hasil karya.
9.      Metode Analisis Karya
Metode penelitian yang dengan mengadakan analisis hasil karya.

10.  Metode Klinis Metode ini mula – mula timbul dalam lapangan klinik untuk mempelajaru keadaan orang – orang yang jiwanya terganggu (abnormal).

DASAR DAN CARA PENETAPAN AWAL RAMADHAN

A.     DASAR PENETAPAN AWAL RAMADHAN
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawwal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman  masing-masing  kelompok terhadap teks-teks al Quran dan Hadits. Dalam hal ini sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbendaan pendapat dalam masalah-masalah furuiyyah seperti itu tidakakan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Dalam menetapkan awal Ramadhan banyak dasar-dasar yang menunjukkan dari al Quran maupun al Hadits antara lain:[1]
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Yang artinya: ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185).
QS al Yunus ayat 5 yang artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhiyungan(waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui”
Nabi SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملواعدة شعبان ثلاثين (رواه البخارى)
Yang artinya: “Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan), dan bukalah kamu ketika melihat bulan (di bulan Syawwal), maka jika ada yang menghalangi (mendung), sehingga bulan tidak terlihat, hendaklah kamu menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari ” [2]
Nabi SAW bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Yang artinya: Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” ( HR. Bukhori)


B.     METODE MENENTUKAN AWAL RAMADHAN
1.       Dengan melihat bulan (rukyat)
Dengan metode melihat bulan, menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan rukyah atau melihat bulan yang dilakukan pada hari ke 29. Apabila rukyah tidak berhasil, baik karena posisi hilal memang belum dapat dilihat maupun karena terjadi mendung, maka penetapan awal bulan harus berdasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari). Sehingga menurut metode ini term rukyah dalam hadits-hadits bersifat ­ta’abudi- ghair ma’qul ma’na. Artinya tidak dapat dirasionalkan pengertiannya, sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian rukyat hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata kepala.[1]
Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib). Karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
2.       Dengan cara perhitungan (hisab)
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Metode ini menetapkan awal Ramadhan dengan menggunakan perhitungan falak. Ada beberapa metode yang digunakan, yaitu antara lain:
A.      Metode hisab haqiqi taqribi
Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa menggunakan ilmu ukur segitiga bola.
B.      Metode hisab haqiqi tahqiqi
Metode ini dicangkok dari kitab al Mathla’ al Said Rushd al Jadid yang berakar dari sistem astronomi serta matematika modern yang asal muasalnya dari sistem astronom-astronom muslim tempo dulu. Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan, dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem koordinat ekliptika.
C.      Metode hisab haqiqi kontemporer
Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan hisab haqiqi tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.[2]



[1].Ahmad Izzuddin, fiqih hisab rukyah, (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2007),  hlm. 4.
[2]. Ahmad Izzuddin, fiqih hisab rukyah, (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2007),  hlm. 8.


[1].Susiknan Azhari, Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm: 135.
[2] . Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 1986) hlm. 222.

Keteladanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Allah berfirman fabasysyarnaahu bighulamin halim (Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak) Itulah satu diantara berbagai ayat yang mengisahkan tentang nabi Ibrahim, kita semua mengenal beliau, nabi yang kita kenal dengan memiliki iman yang sangat kuat, kesabaran yang tinggi, beliau beristrikan siti Hajar, mereka berdua membangun rumah tangga bersama walaupun berbagai masalah datang, serentetan ujian yang hadir, berbagai godaan yang ia hadapi, tetapi karena kesabarannya beliau dapat mengatasi berbagai masalah, ujian dan godaan tersebut.
Tetapi beliau merasa kesepian tanpa kehadiran seorang anak yang akan mewariskan ajaran syariat Allah, telah bertahun-tahun beliau menikah tetapi belum juga dikaruniai seorang anak. Telah banyak linangan air mata dalam doanya untuk dikaruniai seorang anak, dan pada akhirnya Allah mengabulkan permintaan Nabi ibrahim dan siti hajar, lalu pada akhirnya lahirlah seorang putra yang beliau beri nama nabi ismail.
Ketika nabi ismail menginjak dewasa, datanglah sebuah ujian yang sangat besar bahwa dalam mimpi nabi ibrahim, beliau melihat bahwa dirinya menyembilih nabi ismail, maka ia sadar bahwa yang dialaminya adalah wahyu bukan godaan dan bisikan setan.
Ketika ia hendak menceritakan kepada putranya, banyaak setan yang menggodanya tetapi segera saja ia menepis semua itu dan meminta perlindungan kepada Allah, lalu berkata kepada anaknya ya bunayya inni ara fil manam anni adzbahuka fandzur madza tara=  hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu. Lalu ismail menjawab ya abatif’al ma tu’mar satajiduni insyaallahu minashabirin= hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. Demikianlah bukti kecintaan ismail kepada Allah mengalahkan cintanya pada dirinya sehingga rela mengorbankan nyawanya.
Maka dilaksanakanlah perintah Allahsesuai firmannya falamma aslama watallahu liljabin qs shaffat 103= tatkala keduanya telah berserah diri dan ibrahim membaringkan anaknya diatas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini ‘ia telungkupkan ke tanah untuk disembelihdari arah tengkuknya tanpa melihat wajahnya saat disembelih agar lebih ringan perasaannya.
Ketika ibrahim telah sempurna merebahkan nabi ismail dan menaruh mata pisau di leher ismail, maka Allah mengetahui kejujuran mereka berdua. Allah berfirman seraya memuji ibrahim ‘dan kami panggil dia, hai ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang orang yang berbuat baik ashshaffat 104-105.
Akhirnya allah pun menjadikan jalan keluar dari ujian mereka berdua. Allah ganti ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Allah berfirman inna hadza lahuwal balaumubin 0 wafadainahu bidzibhin adzim sesungguhnya ini benar benar ujian yang nyata, dan kamitebus anak itu dengan sembelihan yang besar ashshaffat 106 107.
Dari pemaparan kisah diatas, sedikitnya kita mengambil 2 pokok pelajaran pertama life skill, kemampuan hidup yang ada pada nabi ibrahim, kesabaran yang ibrahim dan hajar miliki ketika menunggu datangnya seorang anak , pengorbanan yang naibi ismail berikan demi menjalankan wahyu allah kedua  kasih sayang, begitu besar kasih sayang ibrahim dan hajar kepada anak semata wayangnya, mengasuhnya hingga beribadah bersama, merupakan sebuah suri tauladan bagi umat yang akan datang, Allah said watarakna alaihi fil akhirin Kami abadikan untuk ibrahim itu pujian di kalangan orang orang yang datang.



Disampaikan Fazka Khoiru Rijal 9 oktober 2013