Senin, 30 Januari 2017

Teori Belajar Sosial Kognitif - Bandura dan Vygotsky

I.            PENDAHULUAN
Belajar sebagai tahapan untuk merubah tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Manusia dalam hidupnya membutuhkan belajar dalam rangka perubahan perilaku, dari yang sebelumnya tidak mengerti akan sesuatu tetapi setelah belajar menjadi mengerti.
Dalam prosesnya, belajar melibatkan seluruh indera manusia, khususnya mata dan telinga, segala yang ia dapatkan di lembaga pendidikan sekalipun di luar dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan disebut sebagai belajar. Pengalaman baru yang didapat juga termasuk dalam belajar, seberapa besar dampak yang mempengaruhi terhadap proses belajar seseorang, dan apakah pengalaman dapat mengubah belajar seseorang, termasuk juga keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal dan orang- orang sekitarnya, semua ini termasuk wujud dari belajar sosial kognitif yang akan kita bahas dalam makalah ini.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Teori Belajar Sosial- Kognitif menurut Albert Bandura?
B.     Bagaimana Teori Belajar Sosial- Kognitif menurut Vygotsky?
C.     Bagaimana Implementasi Teori Belajar Sosial- Koginitif?

III.            PEMBAHASAN
A.    Teori Belajar Sosial- Kognitif menurut Albert Bandura
Albert Bandura lahir 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta, Canada. Bandura memperoleh BA dari University of British Columbia, sedang MA tahun 1951 dan PhD 1952 dari University of IOWA. Teori belajar sosial biasa disebut dengan teori imitasi, karena perilaku terbentuk melalui proses imitasi, mengamati perilaku orang lain termasuk mengamati terhadap efek dari perilaku orang lain. Teori ini juga dikenal dengan belajar model, karena proses pembentukan perilaku memerlukan model yang dicontoh atau yang diikuti.[1] Pendapat lain teori sosial kognitif menekankan bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh peran modeling, peniruan anak terhadap orang dewasa berbicara, penguatan yang dilakukan orang dewasa, dan koreksi atas bahasa ujar anak.[2]
Belajar sosial- kognitif tidak lepas pengaruhnya dari lingkungan sekitar belajar, teori ini menunjukkan bahwa pembelajaran tidak terbatas ruang kelas tetapi juga lingkungan sekitar khususnya orang- orang yang memiliki kedekatan terhadap siswa. Aktivitas belajar tidak hanya bergantung pada pena tetapi juga peran orang sekitar dalam membentuk kognitif siswa.
Menurut bandura, setiap proses belajar (yang dalam hal ini terutama belajar sosial dengan menggunakan model) terjadi dalam urutan tahapan peristiwa yang meliputi:
1.      Tahap perhatian (attentional phase)
2.      Tahap penyimpanan dalam ingatan (retention phase)
3.      Tahap reproduksi (reproduction phase)
4.      Tahap motivasi (motivation phase)[3]
Untuk penjelasan mengenai tahapan- tahapan yang mempengaruhi belajar observasional Bandura, yaitu sebagai berikut:
1.      Attentional Proccesses (proses memperhatikan). Sebelum sesuatu dipelajari sebagai model ia harus diperhatikan dulu. Hal yang mempengaruhi proses memperhatikan antara lain: Pertama, kapasitas sensori seseorang. Stimuli model yang digunakan untuk mengajar anak dengan cacat buta berbeda dengan anak dengan penglihatan normal. Kedua, pengukuh yang perlu dirasakan observer. Pengalaman akan pengukuh sebelumnya dapat menciptakan persepsi bagi observer yang mempengaruhi observasi di masa yang akan datang. Ketiga, karakteristik model. Model yang memiliki banyak kesamaan dengan observer seperti usia sama, jenis kelamin sama, memiliki status lebih tinggi, dihormati, kompetensi tinggi serta dianggap kuat dan atraktif dianggap lebih efektif. Sebagai contoh ketika guru mengajarkan praktek sholat pada muridnya, bagaimana yang dicontohkan oleh guru mulai dari gerakan dan bacaan harus diperhatikan dengan benar oleh murid.
2.      Retentional processes (proses penyimpanan). Informasi berguna yang diperoleh harus disimpan, informasi tersebut disimpan melalui dua acara, yaitu: Pertama, imaginally stored symbols, yakni simpanan informasi dalam bentuk gambaran actual pengalaman ketika melakukan observational learning. Kedua, verbally stored symbols, yakni bentuk simpanan informasi berupa konsep verbal (words). Bandura menganggap bentuk ini paling karena sekali informasi tersimpan secara kognitif, maka dia dapat dikeluarkan, diulangi dan diperkuat jangka lama saat terjadinya belajar observasional. Contoh ketika anak selesai melihat praktek sholat oleh gurunya, ia akan mengingat gerakan- gerakan yang sudah dipraktekkan dan bacaan yang diucapkan guru, proses penyimpanan sangat penting dan membutuhkan proses kognitif seorang murid.
3.      Behavioral production processes (proses terbentuknya perilaku). Proses ini menentukan sejauh mana apa yang telah dipelajari dapat diterjemahkan dalam perilaku. Contoh tahapan ini yaitu bagaimana murid mempraktekkan sholat, sebagai hasil dari pembelajaran dari gurunya, harapannya murid dapat mengulang apa yang telah dipraktekkan oleh gurunya.
4.      Motivational processes (proses motivasional). Bagi Bandura fungsi reinforcement atau pengukuh ada dua, pertama, menciptakan harapan dalam diri observer bahwa jika berperilaku seperti model yang ia lihat, maka ia akan mendapat pengalaman menyenangkan seperti aktivitas tertentu atau perasaan tertentu, kedua, berperan sebagai insentif karena telah menerjemahkan belajar dalam performansi. Proses motivasional berarti proses yang memotivasi observer agar menggunakan apa yang telah dipelajari.[4] Contoh tahapan ini yaitu, seorang murid yang telah bisa melakukan sholat ia mempunyai harapan agar menjadi orang yang sholeh  karena ia sudah dapat melakukan sholat dengan baik dan benar.
Teori belajar sosial Bandura terjadi melalui tiruan (imitation) dan contoh perilaku (modeling), siswa belajar melalui penyaksian yang ada yang ia lihat perilaku terbentuk melalui proses imitasi, mengamati perilaku orang lain termasuk mengamati terhadap efek dari perilaku orang lain.

B.     Teori Belajar Sosial- Kognitif menurut Vygotsky
Sebelum jauh membahas teori belajar kognitif, terlebih dahulu kita mengenal siapa itu Vygotsky. Lev Vygotsky lahir di Orsha, Rusia. Ia termasuk seorang nonreligius dalam keluarga Yahudi. Dibesarkan oleh pamannya, David Vygotsky, ia menamatkan pendidikannya di Universitas Negeri Moskow tahun 1917. Pada pertengahan 1920 an, Vgotsky bekerja pada Institus Psikologi sambil bekerja dalam bidang penelitian pendidikan, serta pada Institut Klinis di Moskow dimana bersama Liningrad dan Kharjov ia secara intensif menggagas ide tentang perkembangan kognitif. Vygotsky meninggal pada tahun 1934 dalam usia 37 tahun di Moskow karena menderita penyakit tuberkolosis.[5]
Dalam kaitan kemampuan kognisi, Vygotsky merumuskan bahwa faktor belajar memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kemampuan kognisi. Menurut Vygotsky, belajar terjadi bila individu memperoleh pengertian khusus dan spesifik atau terjadi perkembangan pada kemampuan yang berbeda, dan kemajuan perkembangan terjadi jika diperoleh pengertian atau keterampilan yang dapat diimplementasikan ke dalam bidang yang lebih luas dan memiliki makna yang kompleks.
Dalam teori Vygotsky yang berbunyi zone of proximal development, artinya jika anak didik memperoleh kemampuan atau kebermaknaan baru dari pengalamannya sebagai bagian dari interaksinya dengan pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada semacam loncatan perkembangan baru dari potensi dasar yang memungkinkan anak didik berkembang ke arah perkembangan potensi, yang ditandai oleh munculnya pengetahuan dan kompetensi baru dalam diri individu.[6]
Teori psikologi yang dipegang oleh vygotsky lebih mengacu pada kontruktivisme. Karena ia lebih menekan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Dalam analisisnya, perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan social secara aktif.[7] Oleh karena itu dikemukakan konsep konstruktivisme Vygotsky, antara lain:
1.      Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development). Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan: tataran social lingkungannya dan tataran psikologis yang ada pada dirinya.
2.      Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah secara mandiri, dan tingkat perkembangan potensial yang tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa.[8]


Secara garis besar, prinsip- prinsip konstruktivisme adalah:
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.      Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.      Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.      Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6.      Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.      Mencari dan menilai pendapat siswa.
8.      Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.[9]

C.     Implementasi Teori Belajar Sosial- Koginitif
Pandangan teori belajar dari Bandura tentang belajar, anak tidak didorong oleh tenaga dari dalam dan tidak ditekan dengan stimulus- stimulus dari luar, namun belajar merupakan interaksi timbal balik antara faktor intern dan daktor lingkungan. Anak pada dasarnya tidak sekedar mengamati perilaku orang lain kemudian mencontohnya, lebih dari itu, akan terjadi keterlibatan proses berpikir karena anak juga akan konsekuensi dari perilaku yang diamati.[10]
Sebagai contoh ketika melihat teman- temannya jajan di luar sekolah, anak berusaha mengikuti, mengimitasi teman- temannya yang jajan di luar sekolah. Keadaan akan berbeda bila anak melihat konsekuensi jajan di luar sekolah dihukum guru atau mendapat surat teguran dari sekolah.
Model yang bisa ditiru dapat tampil dalam berbagai bentuk, ada dalam kehidupan anak, bahkan bisa selalu hadir dalam dunia nyata. Model tersebut berupa:
a.       Model hidup, seperti perilaku orang- orang dalam keluarga, perilaku guru dan orang- orang di sekolah, teman- temannya, teman dari orang tua dan sebagainya.
b.      Model simbolik, seperti model yang ditiru dari film atau televisi, atau model yang ditemukan dari bacaan atau tokoh imajinasi lain yang didapat dari cerita orang.
c.       Instruksi verbal berupa instruksi bukan berupa tingkah laku.
Oleh karena itu, dalam teori belajar sosial ini menganggap bahwa belajar tidak hanya sekedar perubahan dalam tingkah laku yang diamati, tetapi juga pencapaian pengetahuan dan tingkah laku yang dapat diamati berdasarkan pengetahuan tersebut, jadi pengalaman seseorang terlibat di dalamnya.
Implementasi teori belajar Vygotsky dalam penerapannya di berbagai jenjang pendidikan adalah sebagai berikut:
a.       Tingkat Sekolah Dasar (SD). Guru perlu membantu pemahaman anak mengenai sudut- sudut kertas pada anak yang baru pertama kali belajar mencetak tulisan dalam sebuah kertas. Guru dapat melatihnya secara langsung, sehingga anak memperoleh pengalaman. Dengan demikian, anak memiliki keterampilan.
b.      Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Guru yang mengajar ilmu pengetahuan alam perlu melatih siswa untuk mempersiapkan pembuatan laporan tentang hal- hal inti yang dilakukan ketika praktek kerja laboratorium.
c.       Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Guru yang mengajar pendidikan seni memberi contoh karya lukisan siswa yang dinilai memiliki nilai seni kepada seluruh siswa di dalam kelas. Siswa diminta mendiskusikan lukisan tersebut. Setiap siswa diberi kesempatan untuk mengajukan argumentasi, dari argumentasi tersebut, siswa dapat saling mengoreksi dan diharapkan siswa memiliki kreativitas seni tinggi sesuai bakatnya.[11]

IV.            KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas diperoleh kesimpulan yaitu, teori belajar sosial Albert Bandura didasarkan oleh imitation dan modelling, penerapannya dengan 4 macam aspek antara lain tahap perhatian (attentional phase), tahap penyimpanan dalam ingatan (retention phase), tahap reproduksi (reproduction phase) dan tahap motivasi (motivation phase).
Implementasi Teori Sosial- Kognitif melalui imitasi dan model bisa ditiru dapat tampil dalam berbagai bentuk, ada dalam kehidupan anak, bahkan dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA), dengan ketentuan- ketentuan yang berbeda tiap jenjangnya.
Setelah membahas panjang lebar mengenai teori Albert Bandura dengan Vygotsky, ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan antara kedua teori tersebut. Antara lain:
Albert Bandura
Lev Vygotsky
Belajar melalui model atau imitasi
Belajar mengandalkan kemampuan kognitif
Sama- sama mendorong siswa untuk aktif
Sama- sama mendorong siswa untuk aktif
Lebih mengandalkan peranan model
Mengandalkan peran mandiri siswa
Perubahan dalam belajar lambat tergantung kemampuan pengamatan siswa
Perubahan dalam belajar lebih cepat dibandingkan belajar model

V.            PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah mengenai teori belajar sosial- kognitif menurut Albert Bandura dan Vygotsky, pemakalah meminta maaf karena menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, semoga pembahasan kali ini dapat menambah wawasan keilmuan kita dalam rangka menjadi insan yang kamil yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, amin...






DAFTAR PUSTAKA
Sriyanti, Lilik, dkk, Teori- Teori Belajar, Salatiga: Salatiga Press, 2013.
Surna, I Nyoman, dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, Jakarta: Erlangga, 2014.
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.



[1] Lilik Sriyanti, dkk, Teori- Teori Belajar, (Salatiga: Salatiga Press, 2013), hlm. 84.
[2] I Nyoman Surna dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm 95.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 112.
[4] Lilik Sriyanti, dkk, Teori- Teori Belajar, hlm. 84-85
[5] I Nyoman Surna dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, hlm 83.
[6] I Nyoman Surna dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, hlm 85.
[10] Lilik Sriyanti, dkk, Teori- Teori Belajar, hlm. 87.
[11] I Nyoman Surna dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, hlm. 98- 99.
Nama   : Fazka Khoiru Rijal
Nim     : 123111072
Kelas   : PAI 3D
Jawaban UAS KTIno 4. Artikal koran/ majalah. Tema: Mahasiswa Kreatif Sukseskan Bangsa
                                                                        Judul: Mahasiswa Pemimpin Masa Depan
Mahasiswa, apakah arti mahasiswa, sering kita dengar mahasiswa demo, mahasiswa tawuran, tetapi kita belum mengetahui hakikat makna yang sesungguhnya yaitu, apabila kita bagi menjadi dua kata maha dan siswa. Maha yang memiliki arti kuasa, amat, sangat, paling, wahh, dll. Siswa yang berarti murid, dalam bahasa arab dinamakan thalib yang berarti orang yang mencari, mencari disini tidak lain adalah mencari ilmu. Jadi dapat diartikan mahasiswa adalah orang yang mencari ilmu dengan sangat amat dan kuasa.
Para mahasiswa Indonesia masa depan akan menyongsong tantangan baru dengan warna zamannya sendiri. Tantangan di setiap zaman pastinya sangat berbeda nuansanya debanding apa yang mereka saksikan hari ini. Tantangan yang tentunya lebih kompleks seiring dengan berkembangnya zaman itu sendiri, zaman modern yang semakin menipu manusia dengan segala pernak- perniknya. Sehingga membuat mereka berusaha menutupi kebenaran untuk meraih kesenangan sementara. Namun, kebenaran hakiki tidak dapat dipungkiri, tidak akan luntur dan nilai- nilai moral yang berangkat dari initi kebenaran merupakan panduan moral bagi siapapun tanpa mengenal nuansa zamannya.
Berbekal ilmu pengetahuan selama mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dengan harapkan membawa perubahan yang lebih maju. Kalimat “youth today as a leader for tomorrow” haruslah tertanam pada jiwa sanubari mahasiswa, yang menjadikan motivasi dan dorongan bagi dirinya untuk menyikapi masa depan. Kepemimpinan sebuah bangsa akan berganti generasi demi generasi. Artinya tongkat estafet yang mereka pegang sekarang pasti berpindah tangan. Para pemudalah yang pasti menerima tongkat itu. Sebenarnya, kalimat di atas dengan tegas memperingatkan kita semua untuk mencapai garis finish dengan membawa tongkat perjuangan itu tidaklah gampang. Harus menyiapkan diri dari sekarang dengan bekal yang cukup agar tongkat estafet itu tidak jatuh di tengah jalan dan diambil orang lain.

Lantas bagaimana mahasiswa mempersiapkan bekal tersebut, pertama yaitu tanamkan niat baik kita kepada Allah bahwa tujuan kita menjadi mahasiswa yaitu mencari ilmu dan beribadah, kedua, haruslah mintalah restu kedua orang tua kita agar selama menuntut ilmu orang tua selalu meridhai kita dan mendoakan kita dan sebagai mahasiswa tentulah kita juga mendoakan kepada orang tua, ketiga yakni bersungguh- sungguh, kunci kesuksesan usaha disamping dua hal diatas adalah kesungguhan, bila kita menengok kesungguhan ulama- ulama terdahulu dalam menimba ilmu dari satu negeri menuju negeri yang lainnya, dari satu benua menuju benua lainnya yang semua itu didasari dengan kesungguhan, keempat adalah bertawakkal dan bedoa kepada Allah agar semua yang kita harapkan dikabulkan oleh-Nya. Inilah empat pokok hal yang wajib tertanam pada para mahasiswa agar mereka dapat menjadi tongkat estafet masa yang akan datang.