A.
Sejarah Imamul Haramain
Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn Abdullah ibn
Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah
satu wilayah Khurasan, Persia tanggal 18 Muharram 419 H, dan wafat di
daerah kelahirannya pada malam Rabu 25 Rabi’ al-Akhir 478 H. Tentang sebutan
al-Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak antara
Bastam dan Naisabur, dan merupakan kebiasaan para sejarawan nama tokoh-tokoh
tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat menetap atau tempat wafatnya.
Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama. Ayahnya
seorang ulama yang sangat taqwa. Ia tidak makan kecuali dari yang halal yang
dihasilkan oleh keringatnya sendiri. Ia mengawini seorang perempuan yang
kemudian melahirkan Imam Haramain dengan mas kawin yang diperoleh dari usahanya
sendiri. Kepada istrinya ia berpesan agar sang anak tidak disusui oleh orang
lain. Pada suatu harketika sang ibu tengah masak, anaknya menangis.
Sebenarnya ia sendiri punya sahaya perempuan yang
biasa menyusui anak tetangganya. Tiba-tiba istrinya menyerahkan anak itu untuk
disusui perempuan tadi sampai dua kali. Suaminya melihat keadaan itu, lalu
segera melarangnya. Kepada istrinya ia mengatakan:” perempuan sahaya ini bukan
milik kita dan ia tidak berhak menyusui kecuali dengan izin tuannya, padahal
sang tuan tidak mengizinkannya. Dengan tiba-tiba saja sang anak memuntahkan
lagi isi perutnya.[1]
Al-juwaini meninggalkan negaranya sekitar tahu 443-447
H, pada saat di dalam negaranya berkobar fitnah yang terkenal dengan sebutan
fitnah al-khunduri. Ia pergi ke mu’askar, bagdad dan Isfahan. Di bagdad ia
belajar pada Abu Bakar Al-Baqillani. Ia pernah mengatakan bahwa ia pernah
membaca dan bahkan menghapal 12. 000 lembar buku karangan al-qadi Abu Bakar
Al-Baqillani tentang teologi. di Isfahan ia belajar pada Abu Nu’aim
Al-Isfahami pengarang buku al-hilyah. Selain belajar khusus, ia juga banyak
mengadakan diskusi ilmiah dengan para tokoh yang ada di Negara Negara yang
pernah di kunjunginya.
Gelar Imam Haramain Yang Ia
Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah. Ia juga disebut Diya’uddin,
karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela
aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis
serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam
kesesatan.[2]
B.
Setting
Sosial Budaya Imam Haramain
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat
ketat dalam pendidikan agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan
langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama,
diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfarani dalam ilmu fiqih
dan ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu
Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali
Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama
seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki,
Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan
Al-Naishabur.
Seperti lazimnya para santri kala
itu, beliau juga menjelajah beberapa kota untuk menuntut ilmu. Berulang kali
beliau mengunjungi Baghdad ( Irak ) dan Isfahan (Persia , kemudian ke Hijaz (
Arab Saudi ) dan tinggal di Mekah dan Madinah selama enam tahun sebagai ulama
yang bertanggung jawab atas fatwa dan Imam Al-Haramain.
Belakangan beliau pulang kampong
ke Naishabur dan mengajar. Tak berapa lama kemudian beliau diminta oleh Perdana
menteri Nizam Al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Tinggi Nizamiyah di Baghdad.
Di madrasah inilah beliau melewatkan hari-harinya untuk mengajar sampai di
akhir hayatnya. Selama mengajar, beliau punya murid cukup banyak.[3]
C.
Setting
Politik Imam Haramain
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan di segala bidang.
Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di Baghdad. Pada masa
desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak lagi mempunyai wibawa
dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai bermunculan dengan cara
melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Kekuasaan khalifah di rongrong dari dalam
dan luar istana oleh orang keturunan Turki yang merasa tela mendapatkan
kedudukan kuat. Khalifah sendiri berusaha mencari dukungan dari luar guna
menyelamtkan kekuasaannya. Maka pada tahun 334h khalifah Abbassiyah ke 21 Al-
Muttaqi di Baghdad meminta bantuan kepada Ahmad A Buwaihi yang berkedudukan di
khurasan untuk melindunginya dari musuh. akibat dari permintaan itu, maka pada
tahun ini pula dinasti Buwaihi berhasil memasuki Baghdad dengan mulusnya tanpa
hambatan. Setelah bani Buwaihi berhasil mengalahkan musuhnya, kini merekala
yang memegang kekuasaan penuh atas permimintaan pemerintahan pusat.merela lebih
leuasa dan melakukan penindasan disana sini, khalifah tak ubahnya seperti
boneka.
Walaupun diluar bani Buwaihi tampak seperti berada di bawa kekuasaan
Abbasiyah namun pada hakikatnya merekala yang memegang penuh tampak
pemerintahan pusat. Bahkan lebih jauh bani Buwaihi yang bermazhab syiah menekan
khalifah Abbasiyah yang bermazhab sunni. Hal ini wajar terjadi sebab anatara
kedua mazhab saling bersaing untuk mencari pengaruh di kalangan masyarakat
umum.Kekacaun di bidang politik membawa kepada kekacaun di bidang akidah.
Timbul berbagai fitnah di mana-mana tak terkecuali di Nisyapur tanah tumpah
imam Juwaini. Keadaan ini seperti terus berlanjut hingga suatu saat bani Saljuk
yang bermazhab sunnah tiba di Khurasan pada tahun 426 h. Kedatangan mereka
tidak mengubah keadaan masyarakat secara drastis. Fitnah yang timbul akibat
fanatik golongan belum bisa di tanggulaninya.
Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang dipgang oleh oleh Tughril Bek
sekitar tahun 443 H. Timbul suatu fitnah yang kemudian di kenal sebagai fitnah Al-Khunduri.
Amid al-malik al-Khunduri seorang wazir Thugril bek mengumumkan bahwa
pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah yang di bawa oleh al- asyari’ah
seperti juga pemerintah menentang gerakan rafidah. Pemerinta h mencela dan melarang mereka
berceramah di atas mimbar. Lebih jauh pemerintah menyeru orang orang agar membenci mereka dan
menganggapnya sebagai orang yang telah keluar dari ajaran islam. Menurut
Hodgson, Al khunduri menyerukan mu’tazilah dan semua ajaran teologi lainnya unutk menghentikan
ajaran-ajarannya.[4]
D.
Wacana
Keilmuan Imam Haramain
Ketika masih muda, Imam Haramain belajar fiqh dan
hadits kepada ayahnya, Syeikh Abu Muhammad al Juwaini dan kepada Qadi Husein.
Setelah itu ia sekolah di madrasah al Baihaqi dan belajar ilmu Kalam pada Abu
al Qasim al Iskaf al Asyrafani. Dari sini ia kemudian melanjutkan ke Baghdad
dan Hijaz. Empat tahun lamanya ia tinggal dan pulang pergi antara Makkah-
Madinah sambil terus menimba Hadits dari para ulama di sana.
Guru- gurunya adalah; Abu Hasan Muhammad al Muzakki,
Abu Sa’id Abd al Rahman bin Hamdan al Nadrawi, Abu Abdullah Muhammad bin
Ibrahim bin al Yahya al Muzakki, Abu
Sa’d Abd al Rahman bin al Hasan, Abu Abd Rahman Muhammad bin Abd al Aziz al
Nili dan Abu Nu’aim.
Sedangkan Murid-muridnya antara lain; Zahir al
Syahami, Abu Abdullah al Farawi dan Ismail bin Abu Salih al Muazzin. Beberapa
karya yang Imam Haramain tulis antara lain; Al Nihayah fi al Fiqh, Al Syamil
fi Usul al Din, Al Burhan fi Usul al Fiqh, Al Irsyad (akidah), Talkhis
al Gharib, al Waraqat, Ghiyas al Waraqat, Mughis al Khalq fi Tarjih Mazhab al
Syafi’i, Al Mukhtasar al Nihayah, dan Al Nizamiyah.[5]
E.
Metode
Istinbat Imam Haramain
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats al Ulum
(dengan tahqiq Dr Abdul Azhim ad Dib hal. 296-297), mengatakan orang yang
bertaklid perlu berhati- hati dan bersikap kritis dalam menentukan orang yang
ditaklidinya. Ia tidak bisa seenaknya bertaklid kepada ahli fatwa sekehendak
dirinya. Ia harus mencari tahu seputar madzhab- madzhab yang ada dan
bertentangan pendapat- pendapat yang ada beserta konsekuensi- konsekuensinya.
Karena bagaimana ia dapat memilih dengan tepat antara mengambil madzhab yang
mengharamkan (dalam suatu perkara) dan yang menghalalkannya? Sedangkan, ia
tidak memiliki gambaran yang benar mengenai jalan yang ditempuhnya.
Pendapat yang dijelaskan Imam Haramain mengenai
ketentuan orang yang bertaklid terhadap orang yang ditaklidinya adalah tidak
diperuntukan bagi orang awam saja. Tetapi, juga bagi orang yang termasuk
penuntut ilmu, yang menurutnya sebagai golongan orang yang mampu untuk memilih
dan membenarkan suatu perkara hukum.[6]
I.
[1]
Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar- Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,(Jakarta:
Penerbit LKPSM, 2001), hal. 161.
[2]
Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (
Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960), hlm. 9
[3] Al-Kisah No.22 / Tahun II / 25 Oktober – 7 November 2004.
[4] Tsuroyo
Kiswati, Al-juwaini Peletak Dasar Rasional dalam Islam Teologi,(pt
gelora aksara), hal, 29.
[5]
Abdullah Mustofa al Maraghi, Pakar- Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,(Jakarta:
Penerbit LKPSM, 2001), hal. 161.
[6]Yusuf
Qaradhawi, Memahami Khazanah Klasik, Madzhab, dan Ikhtilaf,(Jakarta:
Akbar, 2003), hal. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar