A.
DASAR PENETAPAN AWAL
RAMADHAN
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawwal merupakan permasalahan ijtihadi
yang didasarkan pada pemahaman
masing-masing kelompok terhadap
teks-teks al Quran dan Hadits. Dalam hal ini sah-sah saja bila masing-masing
kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat
merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan
menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka
sejuta perbendaan pendapat dalam masalah-masalah furuiyyah seperti itu
tidakakan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Dalam menetapkan awal Ramadhan banyak
dasar-dasar yang menunjukkan dari al Quran maupun al Hadits antara lain:[1]
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
Yang
artinya: ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah:
185).
QS al Yunus ayat 5 yang artinya: “Dialah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan
tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan
perhiyungan(waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan
benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang
mengetahui”
Nabi SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملواعدة
شعبان ثلاثين (رواه البخارى)
Yang artinya: “Berpuasalah
kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadhan), dan bukalah kamu ketika melihat
bulan (di bulan Syawwal), maka jika ada yang menghalangi (mendung), sehingga
bulan tidak terlihat, hendaklah kamu menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari ” [2]
Nabi SAW bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ،
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Yang artinya: ”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban).
Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung,
sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” ( HR. Bukhori)
B.
METODE MENENTUKAN AWAL
RAMADHAN
1.
Dengan melihat bulan (rukyat)
Dengan metode melihat bulan, menentukan awal
dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan rukyah atau melihat bulan yang
dilakukan pada hari ke 29. Apabila rukyah tidak berhasil, baik karena posisi
hilal memang belum dapat dilihat maupun karena terjadi mendung, maka penetapan
awal bulan harus berdasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan
menjadi 30 hari). Sehingga menurut metode ini term rukyah dalam hadits-hadits bersifat ta’abudi-
ghair ma’qul ma’na. Artinya tidak dapat dirasionalkan pengertiannya,
sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian
rukyat hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata kepala.[1]
Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam.
Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib). Karena intensitas cahaya hilal sangat redup
dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal
terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan
(kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan
mulai maghrib hari berikutnya.
2. Dengan cara perhitungan
(hisab)
Hisab adalah
perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal
bulan pada kalender Hijriyah. Metode ini menetapkan awal Ramadhan
dengan menggunakan perhitungan falak. Ada beberapa metode yang digunakan, yaitu
antara lain:
A.
Metode hisab haqiqi taqribi
Kelompok ini mempergunakan data bulan dan
matahari berdasarkan data dan tabel dengan proses perhitungan yang sederhana.
Hisab ini dilakukan dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian tanpa menggunakan ilmu ukur segitiga bola.
B.
Metode hisab haqiqi tahqiqi
Metode ini dicangkok dari kitab al Mathla’
al Said Rushd al Jadid yang berakar dari sistem astronomi serta matematika
modern yang asal muasalnya dari sistem astronom-astronom muslim tempo dulu.
Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan,
dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem koordinat
ekliptika.
C.
Metode hisab haqiqi kontemporer
Metode ini menggunakan hasil penelitian
terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama
dengan hisab haqiqi tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti
dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.[2]
[1].Ahmad
Izzuddin, fiqih hisab rukyah, (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2007), hlm. 4.
[2].
Ahmad Izzuddin, fiqih hisab rukyah, (Jakarta:Penerbit Erlangga,
2007), hlm. 8.
[1].Susiknan
Azhari, Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm: 135.
[2]
. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 1986)
hlm. 222.
Syukron. :)
BalasHapus